Di samping 17 Agustus 1945 saat dikumandangkannya proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, 10 November adalah tanggal keramat bagi bangsa
Indonesia khususnya masyarakat Surabaya dalam kaitannya dengan sejarah
perjuangan kemerdekaan NKRI. Di tanggal itu terjadi pertempuran dahsyat antara
tentara Sekutu dan NICA dengan arek-arek Suroboyo yang memakan korban dalam jumlah
yang sangat besar di kedua belah pihak.
Insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Orange yang berlokasi
di jalan Tunjungan Surabaya menyulut bentrokan-bentrokan bersenjata
antara pasukan Inggris dengan para pejuang di Surabaya, yang memuncak dengan
tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur,
pada 30 Oktober 1945.
Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, membuat penggantinya, Mayor
Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum bahwa semua pimpinan dan orang
Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di
tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945. Ultimatum
tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pejuang. Berbekal bambu runcing, arek-arek
Suroboyo memilih berjuang hingga titik darah penghabisan.
Sekutu pun menepati ultimatumnya. Pada 10 November 1945 pagi,
tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat, dengan
mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, sejumlah tank dan
kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom dari udara oleh pasukan
Barat, karena mereka menolak menyerahkan senjata. Arek-arek Suroboyo
ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Dua kuintal
bom dijatuhkan pasukan Sekutu. Drum bensin meledak. Jam 6.10, Surabaya menjadi
lautan api.
Tentara Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di
Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan
persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank,
dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama,
berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan
rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi,
makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai
sebulan.
Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih
banyak lagi yang luka-luka. Pemandangan tanggal 30 November 1945, sepanjang
mata memandang, bergelimpangan mayat terbujur kaku, hangus, serpihan daging
dari 30.000 orang. Para pejuang rela berkorban nyawa berjibaku mempertahankan
kehormatan tanah airnya, Surabaya. Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu
juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir
penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Di balik pertempuran dahsyat yang
terjadi pada tanggal 10 Nopember 1945, ada sebuah nama yang mempunyai andil
besar dalam memompa semangat, keberanian, dan rasa cinta tanah air khususnya
kepada arek-arek Suroboyo. Dialah Sutomo
atau biasa disebut Bung Tomo yang lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober
1920. Bung Tomo adalah seorang wartawan yang aktif menulis di beberapa
surat kabar dan majalah, di antaranya: Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa
Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer, menjabat
sebagai wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan
pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya. Beliau juga menjabat sebagai
pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) – yang akhirnya
dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia. BPRI bertugas mendidik, melatih,
dan mengirimkan kesatuan-kesatuan bersenjata ke seluruh wilayah tanah air. Di
balik sederet jabatan yang diembannya Bung Tomo dikenal luas sebagai pribadi
yang sederhana dan dekat dengan segala lapisan masyarakat termasuk kalangan
bawah. Bung Tomo juga aktif berpidato yang disiarkan oleh Radio BPRI untuk
mengobarkan semangat perjuangan yang selalu direlai oleh RRI di seluruh wilayah
Indonesia. Isi pidato beliau begitu khas: heroik, penuh semangat,
berapi-api, disampaikan dengan sorot mata tajam dan terbukti telah
berhasil mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo
untuk mengangkat senjata tak kenal kata surut menghadapi lawan yang tangguh.
Berikut petikan pidato Bung Tomo yang sangat terkenal itu:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang
dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu
tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita
ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara,
lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap “Merdeka
atau Mati”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!”
Sumber : Kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar